Pagi itu -sekira pukul 07.40 WIB, Rabu 20 November 2019- kami telah bersiap menuju destinasi ke-9 dalam perjalanan wisata ziarah Jawa-Madura-Bali. Lokasi ziarah kesembilan itu adalah makam Sunan Bonang, Tuban, Jawa Timur.
Lokasi makam Sunan Bonang dan parkir kendaraan berjarak kurang lebih satu setengah kilometer. Untuk menuju makam hanya tersedia moda transportasi otot alias becak. Jamaah diberi keleluasaan memilih berjalan kaki atau naik becak. Tak ada paksaan.
Karena jarak yang tak seberapa jauh, tetapi juga cukup jauh untuk dibilang dekat, nanggung, kami pilih naik becak. Hitung-hitung menikmati udara dan suasana pagi Kota Tuban yang asri, juga berbagi rezeki ke bapak pengayuh becak.
Selain asri, kota Tuban juga ternyata tertib. Selama perjalanan kami tak mendengar raungan klakson sepeda motor atau mobil, padahal becak yang kami tumpangi berbagi jalan yang sama. Dan pagi itu, suasana jalan cukup ramai. Semua berjalan beriringan. Saling memberi kesempatan.
Saat tiba di sebuah perempatan misalnya. Rombongan becak jamaah pun ikut berhenti. Antre dengan tertib di bagian depan. Ketika lampu pengatur lalu lintas menyala hijau, sepeda motor dan mobil yang berbaris di belakang becak memberi kesempatan. Mereka menunggu hingga jalan cukup lengang, baru kemudian mendahului rombongan becak kami.
"Apa setiap saat suasana lalu lintas di sini selalu tertib, pak?" tanya saya pada bapak pengayuh becak.
"Iya, pak kaji. Di sini memang gitu. Tertib," jawab beliau.
Obrolan kemudian berlanjut, bahwa memang ada semacam peraturan tak tertulis bilamana melintas becak yang membawa rombongan peziarah harus didahulukan.
Keberadaan becak sebagai moda transportasi dari dan ke area makam pun dikoordinir oleh organisasi Paguyuban Becak Sunan Bonang. Jadi, tak hanya tertib, tapi juga aman, karena bila ada apa-apa mudah mengidentifikasi persoalan bila teroganisir dengan baik.
Misalnya, kita ketinggalan barang, tinggal dicatat nomor becak dan pengayuhnya. Di lokasi tempat mangkal becak pun terdapat semacam kantor sekretariat paguyuban. Bisa dijadikan tempat melapor.
Waktu itu, ongkos untuk single trip sebesar sepuluh ribu rupiah. Kenapa single trip? Kenapa tidak langsung ditentukan ongkos pulang-pergi, seperti di beberapa destinasi lain?
Barangkali karena di sekitar area makam terdapat banyak toko makanan, minuman, dan aneka oleh-oleh. Dan biasanya usai berziarah, jamaah ada yang mampir ke toko-toko tersebut. Jadi, bila ditentukan ongkos PP, bapak pengayuh becak akan lama menunggu, jamaah pun akan tak nyaman karena merasa diburu-buru. Ini hanya asumsi saya, lho. 🤗
Dan pagi itu, selesai berziarah kami menyempatkan mencicipi makanan khas Tuban, salah satu kota di pesisir utara Jawa Timur, yakni belut goreng dan kare rajungan. Sayangnya tak sempat difoto. Lowbatt. 😏 (Bhy)