16 Agustus 2021

Menyikapi Gelar “Episentrum Covid-19”

asbhy - covid-19

Di puncak masa pagebluk, raungan sirene ambulans pernah sahut-sahutan dalam beberapa hari beberapa malam. Antara bunyi yang melandai dan panjang–sebagai pertanda yang dibawa adalah jenazah–dengan suara nyaring bertempo cepat menandakan pasien kritis, suasana mencekam meliputi kota-kota besar di Indonesia, terutama daerah-daerah satelit Jakarta.

Kondisi darurat ber-aura kematian bagai sebuah himne yang dinyanyikan serempak. Pemandangan di rumah-rumah sakit hampir serupa dan sungguh menggetarkan jiwa. Tenda-tenda peleton didirikan di halaman depan unit gawat darurat. Mereka yang menderita demam tinggi, napas sesak, dan paru-paru berstatus malfungsi, telantar di selasar-selasar.

Corona Virus Desease 2019 (Covid-19) atau pandemi Covid-19 tampaknya belum akan berakhir dalam waktu dekat. Bahkan, negeri kita tercinta sempat dijuluki "Episentrum Covid-19 Dunia" oleh beberapa media mainstream dunia (The New York Times, The Pandemic Has a New Epicenter: Indonesia, 17 Juli 2021).

Meski dibantah oleh Satgas Penanganan COVID-19 (news.detik.com, cnnindonesia.com, 20 Juli 2021) yang menyatakan bahwa World Health Organization (WHO) tidak pernah menggolongkan sebuah negara menjadi episentrum penyebaran Covid-19, kabar tersebut tetap menyesakkan. Karena selain diberitakan oleh berbagai media asing kredibel semisal CNN, Bloomberg, Nikkei Asia, dan ABC News, juga karena kabar tersebut datang di saat penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat.

Berita tentang episentrum Covid-19 itu seperti mengolok-olok ikhtiar kita menangani pandemi. Di kala pemerintah masih berjibaku dengan segala kebijakan dan penerapannya. Sementara masyarakat juga terus berjuang demi hidup dan kehidupan mereka.

Tentu saja media-media yang telah disebutkan di atas tidak menurunkan laporan secara asal. Ada mekanisme kerja jurnalistik yang telah mereka anut dalam waktu lama dan berbuah sejumlah reputasi. Singkatnya, laporan-laporan mengenai Indonesia sebagai episentrum Covid-19 layak dipercaya. Lantas, bagaimana sebaiknya kita, Pemerintah khususnya, menyikapi hal tersebut?

Yang pertama bisa dilakukan adalah tetap berpikir positif. Selain kampanye tentang pentingnya pola hidup sehat, perlu juga digencarkan mengenai peran pikiran-pikiran positif selama masa pandemi ini.

“Pikiran positif dapat memancing keluarnya hormon yang berguna untuk meningkatkan daya tahan tubuh, misalnya dopamin dan serotonin,” terang Mulia Sari Dewi, M. Si, Dosen Tetap dan Ketua Pusat Layanan Psikologi Fakultas Psikologi (Fpsi) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta (rdk.fidkom.uinjkt.ac.id, 22 Desember 2020).

Daya tahan tubuh menjadi kata kunci populer di masa pandemi. Bila lemah maka akan rentan tertular dan menulari orang-orang yang juga berimun lemah, pun akan berdampak medis yang tak bisa dianggap sepele. Sebaliknya bila kuat, meski tertular, pada kondisi tertentu virus akan mati dengan sendirinya. Setidaknya, demikianlah konklusi paling sederhana kebanyakan kita.

Kedua, Pemerintah perlu terus kreatif menemukan formulasi yang pas antara kebijakan dan eksekusinya di lapangan. Terlepas dari berbagai perdebatan mengenai perlu tidaknya lockdown, kita dapat maklumi kebijakan PPKM merupakan kebijakan “jalan tengah” yang cukup adaptif.

Di satu sisi pembatasan mobilitas warga diklaim mampu memperlambat laju penyebaran Covid-19. Ambil contoh DKI Jakarta. Setelah melewati beberapa level PPKM, kasus Covid-19 cenderung melandai, di mana puncak kasus aktif terjadi pada periode 16 Juli 2021 yang mencapai 100 ribu lebih kasus. Sementara saat ini di kisaran 10 ribuan kasus (jakarta.tribunnews.com, 8 Agustus 2021).

Akan tetapi di sisi yang lain, kebijakan PPKM dianggap berdampak pada sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). “Beban pelaku UMKM berpotensi bertambah dengan adanya perpanjangan PPKM level 4 ini. Ditakutkan semakin banyak sektor UMKM yang gulung tikar atau alih profesi," ujar Hempri Suyatna, Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (Pustek) UGM (bisnis.tempo.co, 4 Agustus 2021).

Hal ketiga yang bisa dilakukan untuk menyikapi gelar “Episentrum Covid-19” berkaitan dengan upaya menekan laju penyebaran Covid-19 itu sendiri, yakni, Pemerintah musti mempertegas pengawasan dan sanksi penerapan protokol kesehatan.

“Ketegasan akan mengurangi atau mencegah lonjakan jumlah kasus Covid-19 di daerah,” terang Profesor Doktor Hartono, Akademisi di Rumah Sakit Universitas Sebelas Maret (UNS), Solo, seperti dikutip dari laman www.voaindonesia.com. Prof. Hartono juga setuju sekiranya pejabat di daerah melakukan sweeping masker dan menjatuhkan sanksi terhadap pelanggar protokol kesehatan.

Terakhir, menjadikan masa pandemi ini sebagai momentum untuk mulai memperbaiki banyak hal: sarana-prasarana kesehatan, penentuan kebijakan dengan skala prioritas yang tepat, dan mencipta kultur baru yang lebih menghargai arti penting pola hidup sehat.

Bila mau jujur, selama masa pandemi, kita tampak gagap menyikapi bencana ini. Memang benar siapapun tidak ada yang siap. Tetapi setidaknya, jangan biarkan ketidaksiapan itu berlangsung lama. Sebagai contoh adalah tren kenaikan angka positif di negeri ini yang justru terjadi di saat tren negara lain sedang turun. Maka sesungguhnya tidaklah mengherankan bila kemudian kita diberi gelar “Episentrum Covid-19 Dunia”.

Mari lepaskan segala perdebatan mengenai hal-hal tak esensial seputar Covid-19 ini semisal politisasi pandemi demi elektabilitas dan teori konspirasi elit global. Ribuan nyawa melayang dalam tempo dan kondisi tak alami. Itu saja seharusnya sudah cukup buat kita untuk, misalnya, menetapkan masa pendemi ini sebagai titik balik. Bila selama ini kehidupan berbangsa dan bernegara kita begini-begini saja, belum mampu melesat secara fenomenal ke jajaran elit dunia padahal segenap potensi untuk meraih itu semua kita miliki, maka inilah momentum perubahan itu.

Misalnya, inilah titik balik untuk mulai menumbuhkan kultur sebagai bangsa besar yang berperadaban dinamis, berpikiran terbuka, yang mampu mendisiplinkan diri sendiri dalam segala hal –lebih disiplin dari orang Singapura– yang sepatutnya bangga dengan segenap potensi yang dimiliki. Elok rasanya melihat sesama kita malu dan takut bila keluar rumah tidak mengenakan masker. Bukan takut PPKM, tetapi karena sadar percikan air liur dapat menjadi media penularan virus.

Sudah kadung masyarakat dipaksa patuh pada sesuatu semisal protokol kesehatan via PSBB atau PPKM, maka sekalian saja diterapkan pula peraturan serupa untuk memaksa orang agar malu memberi atau menerima pungli, korupsi-kolusi-nepotisme, membuang sampah sembarangan, parkir liar, membunyikan klakson panjang padahal traffic light baru menyala hijau. (*)


Konten Sebelumnya
Konten Berikutnya