Siapakah gerangan tamu yang datang di malam buta begini. Pastilah ia membawa kabar genting, atau hajat yang tak boleh ditunda lagi. Ah… kubuka saja lah dulu pintu depan rumahku. Ketukan itu sinyal bahwa si tamu tak kuasa lagi menunggu.
Kuputar anak kunci. Kuturunkan gagang pintu. Masih ada bunyi ketukan.
*****
Pagi ini udara terasa lebih dingin. Seolah ada hembusan angin lembah. Pelan dan sangat halus. Dingin yang merata, di dalam juga di luar rumah. Entah kenapa ada keinginan untuk menunda semua agenda, dan menikmatinya sebelum ia direnggut rencana-rencana.
Sayang beberapa hal musti rampung hari ini juga, dan itu memerlukan persiapan sedari pagi ini.
Hari ini ada tiga rekan kerja yang akan menghadapku: pintu terakhir yang menentukan terkabul atau tidaknya hajat mereka. Satu mengajukan cuti tahunan, dua lainnya ingin meminjam uang: yang satu untuk biaya awal anak masuk sekolah, satunya lagi untuk biaya persalinan sang istri.
Atas nama tugas dan efisiensi, sering aku memupus harapan mereka yang ingin meluangkan waktu bersama keluarga, membuyarkan niat untuk membahagiakan pasangan dengan kado istimewa, dan bahkan merenggut hidup seorang bocah. Oleh sebab itu aku sempat dijuluki "si sadis": orang yang tak pernah berempati, tak mau peduli, tak menyisakan sedikit pun ruang kemanusiaan, atau minimal pertemanan. Kalau tidak bisa, ya tidak bisa. Titik.
Rekan pertama sudah di hadapanku. Dia memulai percakapan dengan cerita betapa ia sangat rindu pada kedua orang tuanya.
Rekan kedua tak lama kemudian menyusul. Membuka obrolan dengan mengeluh kalau anaknya yang keempat sudah semakin besar. Sebentar lagi meneruskan sekolah ke jenjang lebih tinggi.
Dan, orang ketiga pun masuk. Dia tak mengeluhi apa-apa, hanya berujar pelan sambil garuk-garuk kepala, "Seminggu lagi istri saya melahirkan."
Sosok suara yang seolah memanggil-manggil di kejauhan itu terasa bertambah nyata. Ia seperti sedang mengawasi. Berkali-kali hadir di benakku dengan lintasan-lintasan peristiwa dan semua kenangan di dalamnya.
Dan setelahnya, kuhela napas dalam-dalam dan kuhembuskan perlahan. Kepada mereka masing-masing aku sampaikan hal yang sama. "Saya menyetujui pengajuan Saudara. Manfaatkan baik-baik sesuai keperluan."
Kali ini, entah kenapa aku tak ingin berdebat. Menguji alasan-alasan mereka sebagaimana biasa. Benakku masih meraba-raba rasa yang hadir pagi tadi. Saat hawa dingin mirip angin lembah nan halus lembut itu terus menjalari tepian hati.
Ketika mendengarkan cerita rekan pertama aku teringat Ibu. Satu-satunya orang tua yang kukenal, yang harus kutinggalkan demi hidup yang lebih nyaman.
*****
Di salah satu kursi, seperti ada seseorang. Tampaknya laki-laki. Berjubah putih. Berjanggut tipis. Ia seperti keluar dari bumi; tiba-tiba saja ada di kursi. Aku kaget. Napas di tenggorokanku seolah tinggal satu.
Antara aku yang tertegun penuh tanya, dan sosok lelaki berjubah putih, ada satu perasaan dingin dan hampa, yang aku tak tahu apa namanya. Belum pernah sekalipun kualami perasaan ini. Terlebih ketika kami beradu mata.
Tiba-tiba sekelilingku dipenuhi cahaya putih dan terang. Seolah hanya ada aku. Indah. Hatiku tenteram. Merasa luas dan ringan. Tidak ada bekas kesal atau dendam. Aku sudah memaafkan diriku dan semua orang. (*)