12 Agustus 2021

"Izrail" - Sebuah Cerita Pendek

asbhy2021

Tengah malam. Ada suara ketukan di pintu depan. Cukup nyaring untuk diabaikan. Segera kuturunkan selimut. Kuusap muka, dan sekadarnya merapikan rambut.
 

Siapakah gerangan tamu yang datang di malam buta begini. Pastilah ia membawa kabar genting, atau hajat yang tak boleh ditunda lagi. Ah… kubuka saja lah dulu pintu depan rumahku. Ketukan itu sinyal bahwa si tamu tak kuasa lagi menunggu.

Kuputar anak kunci. Kuturunkan gagang pintu. Masih ada bunyi ketukan.

*****

Pagi ini udara terasa lebih dingin. Seolah ada hembusan angin lembah. Pelan dan sangat halus. Dingin yang merata, di dalam juga di luar rumah. Entah kenapa ada keinginan untuk menunda semua agenda, dan menikmatinya sebelum ia direnggut rencana-rencana.

Membiarkan semua inderaku disentuhi udara dingin itu. Lalu, berharap ada diskusi dalam hati bersama sesosok suara yang sejak dua harian ke belakang seolah memanggil-manggil. Ia seperti siluet orang di ujung jalan yang melambai-lambaikan tangan. Seperti teman masa kecil yang sangat akrab tetapi kemudian tak aku acuhkan. Ia ada di kejauhan tapi terasa amat dekat.

Sayang beberapa hal musti rampung hari ini juga, dan itu memerlukan persiapan sedari pagi ini.

Aku sudah di dalam ruang kerjaku ketika kusadari hawa dingin yang kurasa sekarang amat berbeda. Dingin yang ini tak menghadirkan rasa apa-apa. Hanya dingin.

Hari ini ada tiga rekan kerja yang akan menghadapku: pintu terakhir yang menentukan terkabul atau tidaknya hajat mereka. Satu mengajukan cuti tahunan, dua lainnya ingin meminjam uang: yang satu untuk biaya awal anak masuk sekolah, satunya lagi untuk biaya persalinan sang istri.

Aku tak kenal mereka secara akrab. Mereka pun sama. Dan posisiku di perusahaan ini tak menyediakan celah untuk berakrab-akrab selain dengan rekan di lingkaran terdekat yang jumlahnya tak banyak.

Atas nama tugas dan efisiensi, sering aku memupus harapan mereka yang ingin meluangkan waktu bersama keluarga, membuyarkan niat untuk membahagiakan pasangan dengan kado istimewa, dan bahkan merenggut hidup seorang bocah. Oleh sebab itu aku sempat dijuluki "si sadis": orang yang tak pernah berempati, tak mau peduli, tak menyisakan sedikit pun ruang kemanusiaan, atau minimal pertemanan. Kalau tidak bisa, ya tidak bisa. Titik.

Saat tak tahan lagi dengan julukan itu, aku selalu membela diri agar rasa bersalah atau tak enak hati itu berkurang. Aku hanya menjalankan tugas. Bila mau komplain, silakan menghadap pemberi tugas.

Rekan pertama sudah di hadapanku. Dia memulai percakapan dengan cerita betapa ia sangat rindu pada kedua orang tuanya.

"Sudah dua hari raya saya tidak menjenguk orang tua. Saya kangen aroma tubuh mereka," ujarnya.

Rekan kedua tak lama kemudian menyusul. Membuka obrolan dengan mengeluh kalau anaknya yang keempat sudah semakin besar. Sebentar lagi meneruskan sekolah ke jenjang lebih tinggi.

"Masuk sekolah sekarang harus punya pegangan minimal sepuluh juta," demikian keluhnya.

Dan, orang ketiga pun masuk. Dia tak mengeluhi apa-apa, hanya berujar pelan sambil garuk-garuk kepala, "Seminggu lagi istri saya melahirkan."

Sejak rekan pertama masuk ke ruanganku, kemudian disusul rekan kedua dan ketiga, kurasakan kembali hawa dingin laksana angin lembah nan halus seperti saat pagi tadi. Membuatku banyak memejamkan mata dan bertopang dagu saja ketika mendengarkan alasan-alasan mereka, dan mengangguk-angguk pelan sebagai tanda menyimak. Padahal, batinku mengembara.

Sosok suara yang seolah memanggil-manggil di kejauhan itu terasa bertambah nyata. Ia seperti sedang mengawasi. Berkali-kali hadir di benakku dengan lintasan-lintasan peristiwa dan semua kenangan di dalamnya.

Peristiwa, kenangan, luka. Pahit, getir, tegar. Semua hadir mirip pendaran lampu jalan di permukaan aspal basah. Menatap itu, rasanya seperti saat kita sedang melaju kencang dan tiba-tiba jalanan menukik curam. Kecepatan tinggi membuat kita melayang sejenak. Namun kemudian gravitasi memaksa kita kembali menapaki aspal. Ulu hati seperti ada yang menghantam, pelan tapi sangat terasa.

Dan setelahnya, kuhela napas dalam-dalam dan kuhembuskan perlahan. Kepada mereka masing-masing aku sampaikan hal yang sama. "Saya menyetujui pengajuan Saudara. Manfaatkan baik-baik sesuai keperluan." 

Kali ini, entah kenapa aku tak ingin berdebat. Menguji alasan-alasan mereka sebagaimana biasa. Benakku masih meraba-raba rasa yang hadir pagi tadi. Saat hawa dingin mirip angin lembah nan halus lembut itu terus menjalari tepian hati.

Ketika mendengarkan cerita rekan pertama aku teringat Ibu. Satu-satunya orang tua yang kukenal, yang harus kutinggalkan demi hidup yang lebih nyaman.

Saat menyimak kisah orang kedua, aku ingat Aleea, putri pertamaku yang berusia hanya dua hari. Sementara mendengar kisah rekan ketiga, aku terkenang Saheela, cinta pertamaku yang meregang nyawa saat melahirkan Aleea.

*****

Kutarik daun pintu. Pelan-pelan. Saat setengah terbuka, tak kulihat siapa-siapa. Kusorongkan kepala. Kutengok ke kiri, ke kanan. Tetap, tak kutemukan siapa-siapa. Lantas, kupalingkan muka kembali ke dalam.

Di salah satu kursi, seperti ada seseorang. Tampaknya laki-laki. Berjubah putih. Berjanggut tipis. Ia seperti keluar dari bumi; tiba-tiba saja ada di kursi. Aku kaget. Napas di tenggorokanku seolah tinggal satu.

Antara aku yang tertegun penuh tanya, dan sosok lelaki berjubah putih, ada satu perasaan dingin dan hampa, yang aku tak tahu apa namanya. Belum pernah sekalipun kualami perasaan ini. Terlebih ketika kami beradu mata. 

Tiba-tiba sekelilingku dipenuhi cahaya putih dan terang. Seolah hanya ada aku. Indah. Hatiku tenteram. Merasa luas dan ringan. Tidak ada bekas kesal atau dendam. Aku sudah memaafkan diriku dan semua orang. (*)

Konten Sebelumnya
Konten Berikutnya