Di puncak masa pagebluk, raungan sirene ambulans
pernah sahut-sahutan dalam beberapa hari beberapa malam. Antara bunyi yang
melandai dan panjang–sebagai pertanda yang dibawa adalah jenazah–dengan suara
nyaring bertempo cepat menandakan pasien kritis, suasana mencekam meliputi
kota-kota besar di Indonesia, terutama daerah-daerah satelit Jakarta.
Kondisi darurat ber-aura kematian bagai sebuah himne
yang dinyanyikan serempak. Pemandangan di rumah-rumah sakit hampir serupa dan sungguh
menggetarkan jiwa. Tenda-tenda peleton didirikan di halaman depan unit gawat
darurat. Mereka yang menderita demam tinggi, napas sesak, dan paru-paru berstatus
malfungsi, telantar di selasar-selasar.
Corona Virus Desease 2019 (Covid-19) atau pandemi
Covid-19 tampaknya belum akan berakhir dalam waktu dekat. Bahkan, negeri kita
tercinta sempat dijuluki "Episentrum Covid-19 Dunia" oleh beberapa
media mainstream dunia (The New York Times, The Pandemic Has a New
Epicenter: Indonesia, 17 Juli 2021).
Meski dibantah oleh Satgas Penanganan COVID-19 (news.detik.com,
cnnindonesia.com, 20 Juli 2021) yang menyatakan bahwa World Health
Organization (WHO) tidak pernah menggolongkan sebuah negara menjadi episentrum
penyebaran Covid-19, kabar tersebut tetap menyesakkan. Karena selain
diberitakan oleh berbagai media asing kredibel semisal CNN, Bloomberg, Nikkei
Asia, dan ABC News, juga karena kabar tersebut datang di saat penerapan
Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat.
Berita tentang episentrum Covid-19 itu seperti
mengolok-olok ikhtiar kita menangani pandemi. Di kala pemerintah masih
berjibaku dengan segala kebijakan dan penerapannya. Sementara masyarakat juga
terus berjuang demi hidup dan kehidupan mereka.
Tentu saja media-media yang telah disebutkan di atas
tidak menurunkan laporan secara asal. Ada mekanisme kerja jurnalistik yang
telah mereka anut dalam waktu lama dan berbuah sejumlah reputasi. Singkatnya, laporan-laporan
mengenai Indonesia sebagai episentrum Covid-19 layak dipercaya. Lantas,
bagaimana sebaiknya kita, Pemerintah khususnya, menyikapi hal tersebut?
Yang pertama bisa dilakukan adalah tetap berpikir
positif. Selain kampanye tentang pentingnya pola hidup sehat, perlu juga
digencarkan mengenai peran pikiran-pikiran positif selama masa pandemi ini.
“Pikiran positif dapat memancing keluarnya hormon
yang berguna untuk meningkatkan daya tahan tubuh, misalnya dopamin dan
serotonin,” terang Mulia Sari Dewi, M. Si, Dosen Tetap dan Ketua Pusat Layanan
Psikologi Fakultas Psikologi (Fpsi) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah, Jakarta (rdk.fidkom.uinjkt.ac.id, 22 Desember 2020).
Daya tahan tubuh menjadi kata kunci populer di masa
pandemi. Bila lemah maka akan rentan tertular dan menulari orang-orang yang
juga berimun lemah, pun akan berdampak medis yang tak bisa dianggap sepele.
Sebaliknya bila kuat, meski tertular, pada kondisi tertentu virus akan mati dengan
sendirinya. Setidaknya, demikianlah konklusi paling sederhana kebanyakan kita.
Kedua, Pemerintah perlu terus kreatif menemukan
formulasi yang pas antara kebijakan dan eksekusinya di lapangan. Terlepas dari
berbagai perdebatan mengenai perlu tidaknya lockdown, kita dapat maklumi
kebijakan PPKM merupakan kebijakan “jalan tengah” yang cukup adaptif.
Di satu sisi pembatasan mobilitas warga diklaim mampu
memperlambat laju penyebaran Covid-19. Ambil contoh DKI Jakarta. Setelah
melewati beberapa level PPKM, kasus Covid-19 cenderung melandai, di mana puncak
kasus aktif terjadi pada periode 16 Juli 2021 yang mencapai 100 ribu lebih
kasus. Sementara saat ini di kisaran 10 ribuan kasus (jakarta.tribunnews.com,
8 Agustus 2021).
Akan tetapi di sisi yang lain, kebijakan PPKM
dianggap berdampak pada sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). “Beban
pelaku UMKM berpotensi bertambah dengan adanya perpanjangan PPKM level 4 ini.
Ditakutkan semakin banyak sektor UMKM yang gulung tikar atau alih
profesi," ujar Hempri Suyatna, Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan
(Pustek) UGM (bisnis.tempo.co, 4 Agustus 2021).
Hal ketiga yang bisa dilakukan untuk menyikapi gelar
“Episentrum Covid-19” berkaitan dengan upaya menekan laju penyebaran Covid-19
itu sendiri, yakni, Pemerintah musti mempertegas pengawasan dan sanksi
penerapan protokol kesehatan.
“Ketegasan akan mengurangi atau mencegah lonjakan
jumlah kasus Covid-19 di daerah,” terang Profesor Doktor Hartono, Akademisi di
Rumah Sakit Universitas Sebelas Maret (UNS), Solo, seperti dikutip dari laman www.voaindonesia.com.
Prof. Hartono juga setuju sekiranya pejabat di daerah melakukan sweeping
masker dan menjatuhkan sanksi terhadap pelanggar protokol kesehatan.
Terakhir, menjadikan masa pandemi ini sebagai
momentum untuk mulai memperbaiki banyak hal: sarana-prasarana kesehatan, penentuan
kebijakan dengan skala prioritas yang tepat, dan mencipta kultur baru yang
lebih menghargai arti penting pola hidup sehat.
Bila mau jujur, selama masa pandemi, kita tampak
gagap menyikapi bencana ini. Memang benar siapapun tidak ada yang siap. Tetapi
setidaknya, jangan biarkan ketidaksiapan itu berlangsung lama. Sebagai contoh
adalah tren kenaikan angka positif di negeri ini yang justru terjadi di saat
tren negara lain sedang turun. Maka sesungguhnya tidaklah mengherankan bila
kemudian kita diberi gelar “Episentrum Covid-19 Dunia”.
Mari lepaskan segala perdebatan mengenai hal-hal tak
esensial seputar Covid-19 ini semisal politisasi pandemi demi elektabilitas dan
teori konspirasi elit global. Ribuan nyawa melayang dalam tempo dan kondisi tak
alami. Itu saja seharusnya sudah cukup buat kita untuk, misalnya, menetapkan
masa pendemi ini sebagai titik balik. Bila selama ini kehidupan berbangsa dan
bernegara kita begini-begini saja, belum mampu melesat secara fenomenal ke jajaran
elit dunia padahal segenap potensi untuk meraih itu semua kita miliki, maka inilah
momentum perubahan itu.
Misalnya, inilah titik balik untuk mulai menumbuhkan
kultur sebagai bangsa besar yang berperadaban dinamis, berpikiran terbuka, yang
mampu mendisiplinkan diri sendiri dalam segala hal –lebih disiplin dari orang
Singapura– yang sepatutnya bangga dengan segenap potensi yang dimiliki. Elok
rasanya melihat sesama kita malu dan takut bila keluar rumah tidak mengenakan
masker. Bukan takut PPKM, tetapi karena sadar percikan air liur dapat menjadi
media penularan virus.
Sudah kadung masyarakat dipaksa patuh pada sesuatu semisal
protokol kesehatan via PSBB atau PPKM, maka sekalian saja diterapkan pula
peraturan serupa untuk memaksa orang agar malu memberi atau menerima pungli,
korupsi-kolusi-nepotisme, membuang sampah sembarangan, parkir liar, membunyikan
klakson panjang padahal traffic light baru menyala hijau. (*)