20 Februari 2023

Baik-baik di Sana Ya Nak…



Selalu, saat berpisah denganmu, saat kau tak nampak lagi di pandangan mata, rasanya seperti ada rongga besar di dada, yang membuatku menghela napas panjang.

Kamu yang selalu kami rindukan, Nak. Kami ingin kamu selalu dekat, kami mau kita bertiga melewati hari. Berbagi kisah yang kita temukan, berbagi cerita tentang yang terjadi seharian.

Namun, meski perih membiarkanmu di sana sendirian, meski lelah hati menanti kabarmu, semua tetap harus dihadapi, dijalani dengan sebaik-baiknya ikhtiar.

Nak, baik-baik ya di sana. Ikhlas saja, sabar saja, jalani saja. Seperti kami berdua di rumah tanpamu. Kami ikhlas, kami sabar, dan kami jalani hingga usai masanya nanti.

Baik-baik ya, Nak….

(Jayakarta, 15:51 WIB)

1 Februari 2023

Berpisah Sementara untuk Kembali Berjumpa



Saat tiba waktunya berpisah denganmu, tak pernah tidak menyisakan air mata dan sesak di dada. Berat, dan ragu pun kembali mengulang tanya yang sama: apakah keputusan kami ini tepat adanya.

Untuk menguatkan hati, kami ingat bahwa kamu pun sebetulnya kuat dan mengerti dinamika kehidupan santri. Kamu sudah melewati enam bulan pertama dengan lancar.

Meski begitu, perpisahan adalah sebuah keniscayaan yang harus dihadapi dan dilalui. Ia akan terus datang, oleh karenanya kita harus selalu siap.

Sudah terbayang suasana sepi di rumah. Kami akan berdua saja menjelang hari tanpa tawa dan rajukanmu yang khas.

Nak… semangat ya. Ayah dan ibu akan menguatkan hati supaya kamu bisa tenang dan nyaman belajar. Aamiin….

(Jayakarta, 1 Februari 2023, 17:20 WIB)


30 Januari 2023

Menghantarkanmu Itu Ibarat Teriris Sembilu...



Tiap kali menjelang perjalanan dalam rangka menghantarkanmu tiap kali pula benak ini dipenuhi tanya: apakah keputusan ini sudah benar.

Ragu datang ketika kami berdua di rumah, beraktivitas seperti biasa sementara kamu di sana melewati hari sendiri dengan beragam dinamika.

Meski kami telah pasrah dan yakin kamu baik² saja, tetap ketika sepi merayapi hati benteng keyakinan dan kepasrahan itu goyah pada satu bagian bernama rindu.

"Keyakinanmu harus terus teroptimasi. Jangan biarkan ragu merasuk kalbu. Biarkan ia berproses menjadi pribadi yang kuat dan utuh," demikian kata selarik suara halus di sudut hati, yang kadang kami ikuti kadang kami ingkari.

Ia memang ngangeni dari banyak sisi. Ia perlu hadir di sini agar kami tenang. Tapi ia juga butuh belajar.

(Bangun Karta, 30 Januari 2023, 16:00 WIB)




20 Agustus 2022

Kamu Sudah Jadi Santri Sekarang, Nak…



Di rumah, sebagian besar hal-hal kecilmu kami bantu urusi. Kamu tak pernah mengenal kata antre untuk sekadar, misalnya, membersihkan tubuh, membuang hajat, atau berwudhu.

Di rumah, kamu selalu dapat dispensasi atas banyak kewajiban-kewajiban akademikmu. Tak ada “time table” yang berujung pada “sanksi” bila salah satu agendanya tak kamu penuhi.

Kini, duniamu berubah seratus delapan puluh derajat. Ada banyak jadwal kegiatan yang harus kamu jalani. Ada banyak kewajiban dan sanksi yang menanti sekiranya kamu lalai dan alpa.

Kamu pernah mengeluh lelah karena banyak hal yang harus dihafal. Percayalah, nak, yang kamu hafal itulah yang akan menjadi bekal dalam hidupmu kelak.

Kamu akan bertemu dan bergaul dengan banyak teman baru, banyak karakter baru, banyak kebiasaan-kebiasaan baru yang tentu saja berbeda dengan karakter dan kebiasaanmu. Jalani dan hadapi semuanya dengan ikhlas. Banyak-banyaklah bertenggang-rasa.

Kamu akan menghadapi dan menjalani semuanya sendiri. Kamu akan belajar tentang tanggung jawab, tentang hal-hal yang akan datang karena kata dan lakumu.

Kami tak ada bukan karena tak peduli. Kami tak di sisimu bukan karena tak mau tahu. Kami ada di kejauhan memastikan kamu berkecukupan. Juga karena kami percaya padamu. Kamu kuat dan mampu, karena kamu seorang santri sekarang.

(Bangun Karta, 20 Agustus 2022, 09:30 WIB)








23 Oktober 2021

Sejarah Hari Santri


Setiap tanggal 22 Oktober diperingati sebagai Hari Santri. Hal ini berawal dari usulan masyarakat pesantren sebagai momentum untuk mengingat, mengenang, dan meneladani kaum santri yang telah berjuang menegakkan kemerdekaan Indonesia.

hari santri al fathimiyah

Usulan tersebut pada mulanya menuai polemik, banyak yang setuju, ada pula yang menolaknya. Beragam alasan penolakan muncul, mulai dari kekhawatiran polarisasi, hingga ketakutan akan adanya perpecahan karena ketiadaan pengakuan bagi selain santri. Namun, Presiden Joko Widodo pada akhirnya memutuskan untuk menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri. Hal itu dilakukan melalui penandatanganan Keputusan Presiden (Keppres)  Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri pada 15 Oktober 2015 silam.

hari santri al fathimiyah

Keputusan presiden tersebut didasari tiga pertimbangan. Pertama, ulama dan santri pondok pesantren memiliki peran besar dalam perjuangan merebut kemerdekaan Republik Indonesia dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta mengisi kemerdekaan.

Kedua, keputusan tersebut diambil untuk mengenang, meneladani, dan melanjutkan peran ulama dan santri dalam membela dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta berkontribusi dalam pembangunan bangsa, perlu ditetapkan Hari Santri pada tanggal 22 Oktober.

Ketiga, tanggal 22 Oktober tersebut diperingati merujuk pada ditetapkannya seruan resolusi jihad pada tanggal 22 Oktober 1945 oleh para santri dan ulama pondok pesantren dari berbagai penjuru Indonesia yang mewajibkan setiap muslim untuk membela tanah air dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari serangan penjajah Hal ini sejalan dengan tiga alasan pentingnya penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri yang disampaikan Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Abdul Ghofar Rozin. Ia menjelaskan bahwa tanggal tersebut mengingatkan pada Resolusi Jihad yang dicetuskan Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, sebuah ketetapan yang menggerakkan massa untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

“Pertama, Hari Santri Nasional pada 22 Oktober, menjadi ingatan sejarah tentang Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari. Ini peristiwa penting yang menggerakkan santri, pemuda dan masyarakat untuk bergerak bersama, berjuang melawan pasukan kolonial, yang puncaknya pada 10 Nopember 1945,” ungkap Gus Rozien sebagaimana dilansir NU Online pada 19 September 2015.

Kedua, lanjutnya, jaringan santri telah terbukti konsisten menjaga perdamaian dan keseimbangan. Perjuangan para kiai jelas menjadi catatan sejarah yang strategis, bahkan sejak kesepakatan tentang darul islam (wilayah Islam) pada Muktamar Ke-11 NU di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

“Sepuluh tahun berdirinya NU dan sembilan tahun sebelum kemerdekaan, kiai-santri sudah sadar pentingnya konsep negara yang memberi ruang bagi berbagai macam kelompok agar dapat hidup bersama. Ini konsep yang luar biasa,” tegas Pengasuh Pondok Pesantren Kajen, Pati, Jawa Tengah itu.

Berikutnya, ia menjelaskan bahwa pentingnya 22 Oktober diperingati sebagai Hari Santri karena kelompok santri dan kiai-kiai terbukti mengawal kokohnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“Para kiai dan santri selaluh berada di garda depan untuk mengawal NKRI, memperjuangan Pancasila. Pada Muktamar NU di Situbondo, 1984, jelas sekali tentang rumusan Pancasila sebagai dasar negara. Bahwa NKRI sebagai bentuk final, harga mati yang tidak bisa dikompromikan,” jelas Gus Rozin. Dengan demikian, Gus Rozin menambahkan, Hari Santri bukan lagi sebagai usulan ataupun permintaan dari kelompok pesantren.

“Ini wujud dari hak negara dan pemimpin bangsa, memberikan penghormatan kepada sejarah pesantren, sejarah perjuangan para kiai dan santri. Kontribusi pesantren kepada negara ini, sudah tidak terhitung lagi,” tegas Rozin.

Pada mulanya, Hari Santri diusulkan oleh ratusan santri Pondok Pesantren Babussalam, Desa Banjarejo, Malang, Jawa Timur, Jumat, (27/6/2014), saat menerima kunjungan Joko Widodo sebagai calon presiden. Pada kesempatan tersebut, Jokowi menandatangani komitmennya untuk menjadikan tanggal 1 Muharram sebagai Hari Santri. Ia pun menegaskan akan memperjuangkannya. Namun, pada perkembangannya, PBNU mengusulkan agar 22 Oktober yang ditetapkan sebagai Hari Santri, bukan 1 Muharram. Hal itu dilatari peristiwa sejarah Resolusi Jihad. Di usia yang baru menginjak dua bulan merdeka, Indonesia kembali diserang oleh Sekutu yang hendak merebut kemerdekaan dari tangan bangsa Indonesia. Demi mempertahankannya, Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad.

Dikutip dari Fatwa dan Resolusi Jihad karya KH Ng Agus Sunyoto, fatwa tersebut berisi tiga poin penting, yakni sebagai berikut.

1. Hukum memerangi orang kafir yang merintangi kepada kemerdekaan kita sekarang ini adalah fardhu ain bagi tiap-tiap orang Islam yang mungkin, meskipun bagi orang fakir.

2. Hukum orang yang meninggal dalam peperangan melawan musuh (NICA) serta komplotan-komplotannya adalah mati syahid.

3. Hukum untuk orang yang memecah persatuan kita sekarang ini, wajib dibunuh. 

Syakir NF, Jurnalis NU Online

Red: Seluruh konten (kecuali foto ilustrasi) dikutip dari web NU Online pada laman:

https://nu.or.id/fragmen/sejarah-hari-santri-XE9hw?utm_source=dlvr.it&utm_medium=facebook